Jumat, 05 Agustus 2011

::: Wali – Masih Adakah :::

Mengapa mengapa oh oh mengapa
Aku harus rasakan ini semua
Di saat yang lain tertawa bahagia
Aku hanya bisa menangis berduka

Masih adakah, adakah yang bisa
Bisa menerima aku oh apa adanya
Masih adakah, adakah di sana
Bisa menerima aku setulus hatinya

Ku akui aku tidak sempurna
Aku sadari aku orang biasa
Tapi apakah salah bila ku juga
Ingin dan ingin merasakan bahagia

Masih adakah, adakah yang bisa
Bisa menerima aku oh apa adanya
Masih adakah, adakah di sana
Bisa menerima aku setulus hatinya

Masih adakah, adakah yang bisa
Bisa menerima aku oh apa adanya
Masih adakah, adakah di sana
Bisa menerima aku setulus hatinya

Masih adakah, adakah yang bisa
Bisa menerima aku oh apa adanya
Masih adakah, adakah di sana
Bisa menerima aku setulus hatinya

Allah hi Allah Kiya Karo


Allahi Allah kiya karo
Dukh na kisi ko diya karo
Jo duniya ka malik hai
Naam ussi ka liya karo.

Allah hee Allah…

Allahi Allah kiya karo
Dukh na kissi ko diya karo
Jo duniya ka malik hai
Naam usi ka liya karo.

Allahi Allah…

Just like a sunrise can’t be denied
Oh, just like the river will find the sea
O Allah, You’re here and You’re always near
And I know without a doubt
That You always hear my prayer

Such ki raah pay chala karo
Dukh na kisi ko diya karo
Jo duniya ka malik hai
Naam ussi ka liya karo.

Allah hee Allah..

Allah hee Allah kiya karo
Dukh naa kisi ko diya karo
Jo duniya ka malik hai
Naam usi ka liya karo.

Allah hi Allah

So many bright stars
Like diamonds in the sky
Oh, it makes me wonder
How anyone can be blind
To all the signs so clear
Just open your eyes
And I know without a doubt
You will surly see the light

Aisa zulm na kiya karo
Dukh na kisi ko diya karo
Jo duniya ka malik hai
Naam usi ka liya karo.

Allah hee Allah

Allah he Allah kiya karo
Dukh na kisi ko diya karo
Jo duniya ka malik hai
Naam ussi ka liya karo.

Allah Hi Allah Kiya Karo Dukh Na Kissi Ko Diya …

Selasa, 02 Agustus 2011

::: Question ??? ::::

*> Apa yg kamu lakukan bila sedih ??
*> Apa yg kamu berikan bila orang lain kesulitan ??
*> Apa yg kamu perbuat bila melihan orang lain terkucilkan ??
*> Pilih mana antara Keluarga sendiri dengan Keluarga (bila sudah berSuami/istri) ??
*> Pilih mana antara Keluarga sendiri dengan Keluarga kekasih ??
*> Baik mana Hidup sendiri dengan Hidup Berkelompok namun terkucilkan ??

Senin, 01 Agustus 2011

::: Meninggalkan Cerita Ini :::

Telah kau curi satu keping hatiku
Kau bawa dalam tiap untai senyumanmu
Kau juga yang hancurkan semua mimpi ini
Kau pugar hanya untuk kau remukkan lagi

Jadi biarlah aku pergi
Meninggalkan cerita ini
Pedih memang perih
Tapi ku mengerti
Kuselipkan doa di tiap langkahmu
Jadi biarlah lagu ini indah bersembunyi di hati
Percayalah ku takkan kembali
Walau aku tak tau lagi
Kemana akan menuju

Entahlah apa lagi misteri
Yang dibawa waktu singgah di hidupku

Jadi biarlah aku pergi
Meninggalkan cerita ini
Pedih memang perih
Tapi ku mengerti
Kuselipkan doa di tiap langkahmu
Jadi biarlah lagu ini indah bersembunyi di hati
Percayalah ku takkan kembali
Walau aku tak tau lagi
Kemana akan menuju

::: Boleh Saja Benci :::

Aku tak tahu cara yang tepat
Untuk katakan ini padamu
Maafkan aku bila akhirnya
Ku putuskan tuk meninggalkanmu

Kau boleh saja benci
Salahkan saja padaku
Mungkin lebih baik bagimu
Jika kau melupakan aku

Tapi dengarlah ini
Hati ini berjanji
Apa pun yang terjadi nanti
Kau akan selalu di hati

Kau takkan tahu
Aku pun terluka saat meninggalkanmu
Aku pun merasakan itu

Apa pun yang terjadi nanti
Kau akan selalu di hati

Minggu, 31 Juli 2011

::: Tatanan Berbuka Puasa / Saum :::

Di Kala Waktu Berbuka Puasa telah Tiba

Waktu senja selalu indah mempesona. Langit merah berangsur semakin gelap. Angin berhembus lembut, memberi hawa kesejukan bagi manusia setelah seharian didera teriknya matahari. Samar-samar, terdengar suara burung-burung yang akan kembali ke sarangnya. Sang Surya yang sejak sore bersinar kuning keemasan pun beredar di manzilahnya. Dengan anggun, ia menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Sungguh menakjubkan fenomena alam ini. Keindahan ayat-ayat kauni yang seharusnya membuat kita semakin menyadari betapa kecilnya kita bila dibandingkan dengan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Subhanallah wa bi hamdih…
Tetapi, senja di bulan Ramadhan selalu mempunyai arti khusus dan istimewa. Bukan hanya karena keindahannya. Tetapi karena di waktu senja, di kala matahari telah tenggelam, maka tibalah waktunya bagi hamba-hamba Allah untuk berbuka puasa.

Waktu Berbuka Puasa, Waktu untuk Berbahagia
Saudariku, lihatlah wajah bahagia hamba-hamba Allah yang berpuasa, di kala waktu berbuka puasa telah tiba. Ya, mereka memang patut berbahagia. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berbuka puasa mempunyai dua kebahagiaan yang bisa ia rasakan; kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya karena puasa yang dilakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan di dalam kitab Majaalisu Syahri Ramadhaan, ‘Kebahagiaan ketika berbuka maksudnya adalah karena ia merasa senang atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu bisa melaksanakan puasa yang merupakan salah satu bentuk amal shalih yang paling utama. Betapa banyak manusia yang tidak memperoleh nikmat tersebut sehingga mereka tidak berpuasa. Ia juga merasa senang atas makanan, minuman dan jima’ yang kembali dihalalkan Allah baginya, setelah sebelumnya diharamkan pada saat berpuasa.
Adapun kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya adalah ia senang dengan ibadah puasanya ketika ia mendapat balasannya di sisi Allah secara utuh pada saat ia jauh membutuhkannya, ketika dikatakan, “Di mana orang-orang yang berpuasa?” Mereka pun dipersilahkan masuk ke pintu surga dari pintu ar-Rayyan yang tidak akan dimasuki oleh seorang pun selain mereka.”

Sunnah ketika Berbuka Puasa
Saudariku, hendaknya di saat berbuka puasa kita melakukan sunnah-sunnah yang berkaitannya dengannya. Agar buka puasa yang kita lakukan juga mendatangkan pahala. Bukan sekedar berbahagia karena dapat menikmati makan dan minum kembali.

Sunnah ketika berbuka puasa, antara lain:


1. Bersegeralah berbuka puasa!
Tahukah engkau kapan waktu berbuka puasa? Yaitu ketika sudah dipastikan matahari telah tenggelam, baik dengan menyaksikannya secara langsung atau berdasarkan informasi dari orang yang terpercaya melalui pengumandangan adzan Maghrib atau hal lainnya. (Lihat Majaalisu Syahri Ramadhaan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
Dan ketika waktu berbuka telah tiba, maka bersegeralah berbuka puasa. Sebagaimana hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang (umat Islam) senatiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Maghrib hingga berbuka puasa kendati hanya dengan seteguk air.” (HR. Tirmidzi. Hadits Hasan)


2. Makan kurma atau seadanya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits Hasan Shahih)
Hendaknya berbuka puasa dengan kurma masak atau kering, dengan jumlah yang ganjil. Misalnya tiga, lima atau tujuh.

Adapun jika tidak ada, maka berbuka puasa hanya dengan air pun tak mengapa.


3. Setelah berbuka, jangan lupa panjatkan doa (yang shahih).
Saudariku, hendaknya kita manfaatkan waktu berbuka untuk memperbanyak doa. Karena berdoa pada waktu berbuka puasa adalah salah satu waktu di mana doa yang dipanjatkan dijanjikan akan dikabulkan Allah (HR. Ibnu Majah).
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbuka puasa, beliau biasa berdoa dengan, “Dzahaba zh- zhama-u wabtallatil ‘uruuqu, wa tsabatal ajru insyaa Allah.”
Artinya: “Telah hilang rasa haus dahaga, dan urat-urat telah basah, dan pahala akan kita peroleh, insyaa Allah.” (HR. Abu Daud (II/306) [no.2357] dan yang lainnya. Lihat Shahihul Jami’ (IV/209) [no.4678])

Doa ini biasa dibaca Rasulullah setelah beliau berbuka puasa sebagaimana maksud perkataan Abdullah bin Umar, “Apabila beliau telah berbuka puasa.”

Adapun sabda Rasulullah, “Dzahaba zh-zhama-u” artinya adalah haus.

Kemudian, “wabtallatil ‘uruuqu” artinya adalah dengan hilangnya kekeringan pada urat-urat akibat dari rasa dahaga. Sedangkan ” wa tsabatal ajru” artinya adalah rasa lelah telah hilang berganti dengan pahala. Hilangnya rasa lelah akan mendorong untuk melakukan ibadah. Sementara pahala sangat banyak dan abadi.
Ath-Thibi rahimahullah menjelaskan, “Beliau menyebutkan ketetapan pahala yang akan diperoleh setelah mengalami kelelahan itu adalah dengan harapan akan mendapat kenikmatan yang berlimpah.”
Adapun “insyaa Allah” berkaitan dengan pahala yang setiap orang tidak dapat memastikannya. Sebab ketetapan pahala itu adalah di bawah kehendak Allah.


Selain doa di atas, bisa pula berdoa dengan:

“Allahumma inni as-aluka bi rohmatika allati wasi’at kulla syaiin in taghfirolii”
Artinya: “Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, supaya memberi ampunan atasku.” (HR. Ibnu Majah 1/557. Hadits ini hasan menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Adzkar, lihat Syarah Al-Adzkar 4/342)
Majdi bin ‘Abdul Wahhab Al-Ahmad di dalam Syarah Hishnul Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah, ‘bi rohmatika allati wasi’at kulla syaiin’ adalah rahmat-Mu yang maha luas di seluruh persada ini dan setiap bagian hanya dengan rahmat-Mu.


Saudariku, dari kecil hingga besar, kita diajarkan berdoa setelah berbuka buka puasa dengan beberapa lafadz berikut ini,

Pertama,
“Bismillah wal hamdulillah. Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu wa ‘alaika tawakkaltu subhaanaka wa bi hamdika taqabbal minni, innaka Antas Samii’ul ‘Aliim ”
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah dan segala puji milik Allah. Ya Allah, hanya karena-Mu aku berpuasa, hanya dengan rizki-Mu aku berbuka dan hanya kepada-Mu aku bertawakkal. Maha Suci Engkau dan pujian kepada-Mu, terimalah amalanku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
Ternyata Syaikh Nashiruddin Al Albani berpendapat bahwa hadits ini munkar jiddan. Setelah membawakan sanad hadits ini beliau mengatakan bahwa sanadnya lemah. (lihat Silsilatul Ahaditsidh Dhaifah wal Maudhu’ah, no 6996).


Kedua,
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan, ‘Allahumma Laka Shumna wa ‘ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Sami’ul ‘Alim’”
Artinya: “Ya Allah! Untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizqi-Mu kami berbuka. Ya Allah! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya ‘Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir)
Ternyata hadits ini sanadnya sangat lemah (dhaif). Karena ada seorang rawi yang bernama Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah. Dia adalah rawi yang sangat lemah. Dan di sanad hadits ini juga ada ayah Abdul Malik yaitu Harun bin Antarah. Dia adalah rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Nashiruddin Al-Albani.


Ketiga,
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan, ‘Bismillah. Allahumma Laka Shumtu wa ‘ala Rizqika Afthartu’”
Artinya: “Dengan nama Allah. Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rizki dari-Mu aku berbuka.”
(HR. Thabrani di kitabnya Mu’jam Shagir hal 169 dan Mu’jam Auwsath)
Sanad hadits ini lemah (dhaif). Karena di sanad hadits ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly yang merupakan rawi yang lemah. Juga ada Dawud bin Az-Ziriqaan yang merupakan rawi yang matruk menurut Imam Abu Dawud, Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar.


Keempat,
Dari Mu’adz bin Zuhrah bahwasanya telah sampai kepadanya, “Sesungguhnya Nabi apabila berbuka puasa beliau mengucapkan ‘ Allahumma Laka Shumtu wa ‘ala Rizqika Afthartu’ ”
Artinya: “Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan atas rizki dari-Mu aku berbuka.”
(HR. Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni)
Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit. Yang pertama, mursal karena Mu’adz bin (Abi) Zuhrah adalah seorang Tabi’in, bukan shahabat Nabi. Kedua, Mu’adz bin (Abi) Zuhrah adalah seorang rawi yang majhul. Tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedangkan Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan pujian maupun celaan baginya.


Kesalahan-kesalahan Seputar Berbuka Puasa
1. Tidak menyegerakan berbuka puasa, padahal waktunya telah tiba.

2. Menanti waktuberbuka puasa dengan kegiatan yang sia-sia, bahkan melanggar syariat.
Ngabuburit. Inilah istilah yang sekarang umum digunakan untuk menggambarkan kegiatan di saat menanti waktu berbuka puasa. Mulai dari sekedar nongkrong, berkumpul bersama teman-teman, jalan-jalan, berburu makanan untuk berbuka, dll. Ngabuburit bahkan sudah dikemas menjadi acara-acara khusus yang diisi berbagai macam kegiatan. Jika isi kegiatan adalah hal positif yang tidak melanggar syariat, tentunya tak mengapa. Tapi, kebanyakan ngabuburit yang dilakukan orang-orang sekarang banyak mengandung hal yang sia-sia atau bahkan melanggar syariat.
Misalnya: ikhtilat (bahkan dijadikan ajang pacaran), hiburan dengan musik, nongkrong dan “cuci mata”, ngobrol dan bercanda berlebihan, dll.

Saudariku, bukankah sebelum berbuka itu berarti kita masih dalam keadaan berpuasa? Ingatlah bahwa puasa tidak akan sempurna, bahkan akan menjadi sia-sia jika kita tidak menjaga diri dari kemaksiatan dan hal yang sia-sia. Misalnya: menundukkan pandangan serta menahannya dari pandangan-pandangan liar, menjaga lisan, menjaga pendengaran dari mendengarkan setiap yang haram atau yang tercela, menjaga anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa, dll.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang terlarang, maka Allah tidak butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

“Puasa bukanlah dari makan, minum semata, tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)


3. Makan dan Minum dengan Berlebihan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berbuka puasa dengan makanan yang sederhana. Seadanya saja. Tidak berlebihan-lebihan, atau bahkan sampai memaksakan diri.
Memang, adakala tidak mengapa menghadirkan hidangan istimewa di kala berbuka. Apalagi bila hal itu dilakukan untuk membahagiakan keluarga atau agar anak-anak lebih bersemangat untuk berpuasa. Akan tetapi, hendaknya hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Ingatlah! Bahwa salah satu hikmah berpuasa adalah agar kita turut merasakan kesusahan yang dialami fakir miskin. Maka, kita juga perlu mendidik anak-anak kita untuk memupuk jiwa sosial mereka. Tidak hanya saat kita berpuasa, tetapi juga saat berbuka puasa.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak Menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-A’raf: 31)
Saat berbuka juga bukan berarti waktunya ‘balas dendam’. Semua dimakan sampai kekenyangan. Ingatlah, perut yang kenyang akan membuat malas ibadah.


4. Melalaikan adab makan.
Saudariku, bersegera untuk berbuka puasa bukan berarti boleh lalai berdoa sebelum makan. Bukan berarti boleh makan dan minum dengan tergesa-gesa. Saat kita berbuka puasa, berusahalah untuk tetap menjaga adab dan sunnah dalam makan dan minum. Seperti berdoa, duduk ketika makan-minum, tidak meniup makanan, dll.


5. Melalaikan shalat maghrib.

6. Mengisi acara berbuka dengan maksiat.
Makan bersama (makan berjama’ah) memang merupakan bagian dari sunnah Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” (HR. Abu Dawud. Hasan)
Akan tetapi, kita harus tetap berusaha membingkai acara buka bersama tersebut dalam bingkai syariat. Sebagaimana ngabuburit, acara buka bersama yang banyak dilakukan sekarang ini banyak berisi kemaksiatan dan penyimpangan. Misalnya ikhtilat, pacaran, musik, makanan yang berlebihan, sampai dengan melalaikan waktu shalat Maghrib.

Apakah Setelah Berbuka Puasa Kita Bebas Berbuat Apa Saja?
Saudariku, sesungguhnya seorang hamba yang shalih, saat ia telah selesai melakukan suatu ibadah maka ia berusaha menyelimuti hatinya dengan rasa takut dan harap. Sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima, sehingga ia termasuk orang-orang yang dekat kepada Allah, ataukah ditolak, sehingga ia termasuk orang-orang yang dimurkai. Hal yang sama hendaknya ia lakukan pada setiap selesai berpuasa.

Kita harus menjaga diri dari perbuatan sia-sia dan dosa di saat kita berpuasa. Tapi bukan berarti setelah waktu berbuka puasa kita menjadi bebas. Perbuatan haram, tetap haram hukumnya baik ketika kita sedang berpuasa ataukah tidak. Maka, di malam bulan Ramadhan pun kita tetap harus menjaga diri dari perbuatan dosa. Ingatlah bahwa keutamaan bulan Ramadhan tidak hanya terbatas di siang harinya, ketika kita berpuasa. Tetapi juga meliputi malam harinya. Banyak sekali ibadah yang bisa dilakukan di malam hari ketika bulan Ramadhan. Bahkan, ada keutamaan Lailatul Qadr yang harus kita kejar. Sibukkan diri dalam beribadah, baik siang maupun malam. Agar Ramadhan yang kita jalani benar-benar menjadikan kita manusia yang lebih bertaqwa.


Agar Kita Benar-Benar Mendapat Kebahagiaan
Saudariku, sesungguhnya keutamaan puasa tidak bisa diraih sehingga orang yang berpuasa benar-benar menjaga adab-adab berpuasa. Dan hanya orang-orang itu pula yang berhak untuk mendapat dua kebahagiaan ketika berbuka puasa.

Kita memohon kepada Allah agar menerima puasa Ramadhan kita dan menjadikannya sebagai pemberi syafa’at bagi kita. Agar kita termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang mendapat pahala puasa yang sempurna. Dan kita memohon agar Allah Mengampuni dosa-dosa kita dan Memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bisa memasuki surga-Nya melalui pintu Ar-Rayyan. Amiin.
Maraaji’:
  1. Majaalisu Syahri Ramadhaan (Terj.), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
  2. Majalah As Sunnah edisi 06/X/1427H/2006M halaman 78
  3. Majalah Nikah Vol. 4, No. 5, Agustus 2005/ Jumadil Tsaniyah-Rajab 1426 H
  4. Minhajul Muslim (Terj.), Abu Bakr Jabir Al-Jazairi
  5. Syarah Hishnul Muslim (Terj.), Majdi bin ‘Abdul Wahhab Al-Ahmad, Penerbit Al Qowam

Keterangan:
Munkar jiddan: hadits yang sanadnya dhaif dan sangat bertentangan dengan hadits lain dengan riwayat yang shahih. Hukumnya tertolak.

Rawi yang Matruk: rawi yang ditinggalkan riwayatnya
Hadits Mursal: seorang Tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perantara sahabat. Hukumnya tertolak.

Rawi yang Majhul: rawi yang tidak dikenal. Artinya tidak ada yang menganggapnya cacat dan tidak ada pula yang menganggapnya adil, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.
WebRepOverall rating

::: Hadits Mengenai Imsak :::

Pendahuluan
Puasa Ramadhan dan puasa sunnah lainnya merupakan syari’at Islam yang kadang diposisikan sebagai rukun Islam keempat, namun kadang diposisikan sebagai rukun Islam kelima. Hal ini bergantung kepada siapa yang menjadi objek syari’at itu sendiri.

Salah satu yang perlu dicermati terkait dengan syari’at puasa tersebut adalah bimbingan Nabi saw, agar pelaku puasa menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur. Nabi saw, bersabda: Selamanya umat ini dikondisikan baik, selagi mereka menyegerakan berbuka puasa. HR. Bukhari (shaum: 1821); Muslim (shiyam: 1838) dari Sahal ibn Sa’ad.

Untuk pengakhiran makan sahur inilah muncul istilah imsak sebagai batas waktu seseorang pelaku puasa mulai menjalankan hal-hal yang diperintah Allah terkait dengan puasa dan menjahui hal-hal yang membatalkannya.
Pertanyaannya, kapan waktu imsak yang sebenarnya, apakah beberapa menit sebelum adzan Subuh atau datangnya waktu Subuh itu sendiri? Tulisan ini difokuskan pada masalah tersebut sehingga dapat dicermati pendapat mana yang lebih dekat dengan tuntunan Nabi saw.

Pengertian Imsak
Imsak secara etimologi berasal dari amsaka-yumsiku-imsak yang berarti menahan, menangkap dan memegang. (Ahmad Warsan Munawwir, Al Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiyah Keagamaan, 1984, materi masaka). Terkait dengan puasa, imsak merupakan “batas waktu” pelaku puasa mulai menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa.

Waktu Imsak
Sebagaimana pada paparan sebelumnya, dalam hal ini ulama berbeda menjadi dua pendapat. Pertama, waktu imsak adalah beberapa menit sebelum adzan Subuh. Kedua, waktu imsak adalah masuknya waktu Subuh itu sendiri (adzan Subuh).

Pendapat Pertama
Menurut pendapat pertama, imsak adalah sepuluh menit sebelum adzan Subuh yang biasanya ditandai dengan bacaan tarhim (kadang bacaan tarhim itu dikumandangkan sebelum adzan Subuh). Penulis belum pernah mendapatkan tuntunan sedemikian rupa dan menurut hemat penulis bacaan tarhim tersebut tidak pernah muncul baik dalam sabda Nabi saw, fatwa sahabat maupun qaul (pendapat) para ulama mujtahid yang empat (Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad).. Wallahu a’lam.

Argumen yang dikemukakan oleh pendapat pertama baik dari Al Qur’an maupun Hadis. Adapun dalil Al Qur’an adalah firman-Nya: Makanlah dan minumlah sampai jelas bagi kamu perbedaan benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar. Qs. al Baqarah: 187.

Fajar dalam ayat ini dapat dimaksudkan fajar kadzib (yaitu tanda putih di tepi langit sebelah Timur, tetapi terbitnya membujur vertikal sebelum datangnya fajar shadiq selagi masih ada malam). Namun juga dapat dimaksudkan fajar shadiq (yaitu tanda putih melintang di tepi langit sebelah Timur membujur horizontaltal yang mengiringi habisnya malam hari. Menurut kelompok pertama, fajar dalam ayat ini dimaksudkan fajar kadzib, sehingga ada jedah waktu antara imsak dengan adzan Subuh.

Kelompok pertama juga berargumentasi dengan hadis Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik: Nabi saw, dan Zaid ibn Tsabit sedang makan sahur. Setelah selesai, Nabi saw, melaksanakan shalat. Kami (perawi) bertanya kepada Anas: Berapa masa jedah antara makan sahur dan masuknya waktu shalat (Subuh)? Anas menjawab: Sekitar seseorang membaca lima puluh ayat Al Qur’an.

Hadis di atas dikeluarkan oleh Bukhari (mawaqit shalat: 542) (jum’at: 1066); Nasai (shiyam: 2126, 2128); Ahmad (baqi musnad muktsirin: 12977).

Dari paparan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa antara makan sahur Nabi saw, dan waktu adzan Subuh ada masa jedah sekitar orang membaca Al Qur’an lima puluh ayat. Bilamana diprediksikan, lamanya sekitar sepuluh menit.

Pendapat Kedua
Menurut pendapat kedua, imsak adalah waktu Subuh (adzan Subuh). Kelompok ini juga berargumentasi dengan surat al Baqarah, ayat 187 di atas, hanya saja penekanannya, mereka memahami “fajar” dalam ayat tersebut berarti “fajar shadiq”. Sehingga pemaknaan ayat menjadi “Makanlah dan minumlah sampai jelas bagi kamu antara benang putih dari benang hitam, yaitu fajar shadiq (Subuh)”.

Pemahaman fajar shadiq sebagai batas waktu makan sahur (imsak) juga dipertajam dengan adanya beberapa hadis berikut ini:

Pertama: Hadis Abu Hurairah
Dari Abu Hurairah, Nabi saw, bersabda: Apabila seorang di antara kalian mendengar suara adzan Subuh sedangkan gelas ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (meminumnya).
Hadis di atas dikeluarkan Abu Daud (shaum: 2003); Ahmad (baqi musnad muktsirin: 10220).

Kedua: Hadis al Hasan
Dari al Hasan, Nabi saw, bersabda: Apabila seorang di antara kalian mendengar suara adzan Subuh sedangkan gelas ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (meminumnya).
Hadis di atas dikeluarkan oleh Ahmad (musnad al muktsirin: 9108).
Ketiga: Hadis Samurah ibn Jundub
Dari Samurah ibn Jundub, Nabi saw, bersabda: Jangan sampai menghentikan makan sahur kalian lantaran adzannya Bilal atau fajar putih yang memanjang vertikal (fajar kadzib) sampai datangnya fajar memanjang horizontal (fajar shadiq).

Hadis di atas dikeluarkan oleh Muslim (shiyam: 1831, 1832, 1833, 1834); Turmudzi (shaum: 640); Nasai (shiyam: 2142); Abu Daud (shaum: 1999); Ahmad (musnad bashriyyin: 19221, 19238, 19290, 19338).

Keempat: Hadis Ibn Abbas
Dari Ibn Abbas, Nabi bersabda: Fajar itu ada dua, fajar tidak boleh makan (sahur) tetapi boleh shalat (Subuh), dan fajar tidak boleh shalat (Subuh) namun boleh makan (sahur). HR. Ibn Khuzaimah dan Hakim: 1/191. Hadis ini dinilai shahih oleh keduanya.

Kelima: Hadis Jabir
Dikeluarkan oleh Hakim: 1/191 dari Jabir hadis serupa di atas dan ada tambahan fajar yang mengharamkan makan: Warna yang melintang di ujung langit. Dalam riwayat lain: Bagaikan ekor serigala.

Keenam: Hadis Abu Umamah
Abu Umamah berkata: Shalat Subuh telah diiqamati sementara itu gelas sudah ada di tangan Umar. Ia (Umar) bertanya: Apakah boleh saya meminumnya wahai Nabi? Nabi saw, menjawab: Silakan. Maka Umar meminum air itu. HR. Ibn Jarir (3/527). Dari al Husain ibn Waqid dari Abu Ghalib dari Abu Umamah.

Ketujuh: Hadis Anas ibn Malik
Anas berkata: Nabi saw, bilang kepada saya ketika hendak makan sahur, wahai Anas, sesungguhnya saya ingin berpuasa maka hidangkan kepada saya makanan apa pun. Maka saya hidangkan kurma dan segelas air kepada beliau setelah Bilal mengumandangkan adzan. Nabi saw, bersabda: Wahai Anas, lihatlah apakah ada seseorang yang mendampingi saya makan? Maka saya panggil Zaid ibn Tsabit. Ia (Zaid ibn Tsabit) berkata: Wahai Nabi, saya sudah minum sayur gandum dan saya hendak berpuasa. Nabi saw, bersabda: Saya juga hendak berpuasa. Maka ia (Zaid ibn Tsabit) makan bersama Nabi, lalu shalat dua raka’at dan akhirnya keluar untuk shalat Subuh.

Hadis di atas dikeluarkan oleh Ahmad (baqi musnad muktsirin: 12560); Nasai (shiyam: 2138).
Dari ketujuh hadis di atas sangat jelas bahwa waktu imsak adalah adzan Subuh, bahkan bagi siapa yang minumannya sudah berada di tangan kemudian dikumandangkan adzan Subuh, dalam riwayat lain dikumandangkan iqamat, maka supaya ia menyelesaikan hajatnya terlebih dahulu.

Di samping hadis-hadis al marfu’ (yang dinisbatkan kepada Nabi saw,) di atas, kelompok kedua juga berargumentasi dengan hadis-hadis al mauquf (yang dinisbatkan kepada sahabat) sebagai berikut:

Pertama: Atsar Jabir ibn Abdullah
Perawi berkata: Saya bertanya Jabir perihal seseorang yang hendak berpuasa sementara itu gelas sudah berada di tangan untuk diminum lalu orang itu mendengar adzan Subuh, maka apa yang harus dilakukan? Jabir berkata: Ketika hal itu kami perbincangkan di hadapan Nabi saw, beliau bersabda: Silakan meminumnya. HR. Ahmad (baqi musnad muktsirin: 14228),

Kedua: Atsar Bilal
Bilal berkata: Suatu hari saya mendatangi Nabi saw, untuk mengkhabari shalat Subuh. Waktu itu beliau hendak berpuasa. Beliau minum kemudian memberi saya minum lalu keluar untuk melaksanakan shalat Subuh.
Hadis di atas dikeluarkan Ahmad (baqi musnad anshar: 22764, 22770). Dikeluarkan Ahmad (baqi musnad anshar: 22764).

Ketiga: Atsar Ali ibn Abi Thalib
Hibban ibn Harits berkata: Kami makan sahur bersama Ali ibn Abi Thalib. Setelah selesai ia (Ali ibn Abi Thalib) menyuruh juru adzan mengumandangkan adzan, kemudian ia melaksanakan shalat Subuh. HR. Thahawi dalam Syarkh al Ma’ani (1/106).

Kata Penutup
Tawaran yang disampaikan ulama, baik memaknai imsak sepuluh menit sebelum adzan Subuh maupun datangnya waktu Subuh itu sendiri dapat diakomodasi sesuai dengan kebutuhan kita. Secara akademik memang imsak (batas mengakhiri santap sahur) adalah fajar shadiq (waktu Subuh), namun agar makan sahur dapat dinikmati tanpa tergesa-gesa, mestinya ada masa jedah antara makan sahur dengan adzan Subuh.
Namun, bagi siapa saja yang terlambat bangun untuk santap sahur, walaupun ia sudah mendengar bacaan tarhim, maka tidak ada halangan baginya untuk tetap bersantap sahur sampai datangnya waktu imsak yang sebenarnya, yakni adzan Subuh. Wallahu a’lam.